Hikmah dari Kasus Ayam Goreng Widuran: Pentingnya Sertifikasi Halal Resmi Tempat Makanan

Di jantung kota Solo, di kawasan Widuran, tepatnya kawasan Ruko Sudirman Square Solo berdiri warung sederhana yang selalu dipadati pelanggan. Namanya sudah melegenda: Ayam Goreng Widuran. Rasanya gurih, dagingnya empuk, dan sambalnya? Bikin nagih. Tak heran jika warung ini tak pernah sepi, dari mahasiswa hingga pejabat, semua pernah mencicipinya. Tapi ada satu ironi besar di balik kelezatan itu.

Di balik kelezatan yang melegenda, muncul kabar yang mengguncang. Warung Ayam Goreng Widuran, yang sudah berjualan sejak tahun 1973 dan menjadi ikon kuliner Kota Solo, ternyata baru saat ini diketahui proses memasak ayam menggunakan minyak babi.

Publik baru tahu setelah pihak Ayam Goreng Widuran mengumumkan bahwa makanan produknya non-halal. Pengumuman itu dibagikan di akun media sosial instagram @ayamgorengwiduransolo pada Jum’at 23 Mei 2025.

Spanduk yang dipasang beberapa tahun lalu berdasarkan banyak unggahan di media sosial, terpampang di depan warung tersebut menunjukkan ada logo halal.

Kabar ini menyebar cepat, menggugah rasa penasaran sekaligus kekecewaan banyak pihak. Bagaimana mungkin, tempat yang selama ini dianggap aman dan “halal”, ternyata menyimpan praktik yang bertentangan dengan keyakinan mayoritas pelanggan?

Menurut berbagai kesaksian dan informasi yang mulai terbuka ke publik, minyak yang digunakan untuk menggoreng ayam bukanlah minyak nabati murni. Diduga, sejak dahulu, ada campuran lemak babi (lard) dalam proses memasaknya. Tujuannya? Untuk menambah rasa gurih yang khas dan tekstur renyah yang tahan lama.

Praktik ini mungkin dianggap “rahasia dapur” yang biasa dalam beberapa budaya kuliner. Namun di Indonesia—khususnya di Solo yang mayoritas Muslim—penggunaan minyak babi tanpa keterbukaan adalah pelanggaran berat, baik secara hukum agama maupun etika bisnis.

Puluhan Tahun Tanpa Transparansi

Yang membuat publik semakin geram adalah fakta bahwa ini berlangsung selama puluhan tahun tanpa informasi terbuka. Para pelanggan Muslim menganggap makanan itu halal, tanpa tahu bahwa ada bahan najis yang digunakan dalam prosesnya.

Mengapa baru sekarang terbongkar? Apakah tidak ada pengawasan selama ini?

Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar soal makanan. Ini soal kepercayaan yang dikhianati. Ada rasa kecewa yang dalam karena selama ini merasa “tenang” menyantap sesuatu yang ternyata tidak sesuai ajaran agama.

Menjadi pelajaran besar pentingnya sertifikasi halal resmi untuk setiap tempat makan, dan pentingnya transparansi dalam bisnis kuliner, bukan hanya mengejar rasa, tapi juga menjaga integritas.

Klarifikasi dari pihak pengelola Ayam Goreng Widuran sudah dilakukan, mengakui bahwa produk masakannya memang digoreng dengan minyak babi. Maka tanggung jawab moral dan hukum sangat besar.

Ada dua pelanggaran hukum berat ayam Widuran yang dilakukan berupa dokumentasi visual penggunaan logo halal di masa lalu dan pengakuan baru soal penggunaan minyak babi. Berarti ada dua potensi pelanggaran ganda, pertama penggunaan simbol halal tanpa sertifikasi resmi, dan kedua  tidak mencantumkan status non-halal selama puluhan tahun. Ayam Goreng Widuran adalah bagian dari sejarah kuliner Solo. Bukan lagi sekadar isu rasa—ini adalah luka dalam sejarah kepercayaan publik. Masyarakat harus semakin sadar akan pentingnya kehalalan yang tidak hanya halal di mulut, tapi juga halal di hati dan nurani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *