Partai Islam Jangan Terjebak dalam Pengulangan Isu-Isu Sempit dan Simbolik

Partai-partai Islam di Indonesia memiliki sejarah panjang dan berliku. Dari era Masyumi hingga munculnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan sejumlah partai bercorak Islam lainnya, mereka berusaha menawarkan model politik yang bersandar pada nilai-nilai Islam. Namun dalam dua dekade terakhir, terutama pasca-reformasi, tampak jelas bahwa banyak partai Islam justru terjebak dalam pengulangan isu-isu yang sempit dan simbolik—politik identitas, perda syariah, kampanye moral, dan narasi anti-sekularisme.

Pertanyaannya: mengapa partai-partai Islam belum mampu menawarkan platform yang lebih luas, progresif, dan kontekstual bagi umat Islam Indonesia yang makin beragam dan modern?

Salah satu kritik utama terhadap partai Islam di Indonesia adalah ketergantungan mereka terhadap isu-isu simbolik seperti larangan miras, perda syariah, atau kampanye jilbab. Isu-isu ini memang populer di tingkat akar rumput dan mampu membangun dukungan emosional berbasis identitas. Namun, ketika dihadapkan pada tantangan nyata seperti kemiskinan struktural, ketimpangan ekonomi, krisis pendidikan, dan isu keadilan sosial, partai-partai ini kerap tidak memiliki narasi yang kuat atau solusi yang aplikatif.

Akibatnya, keberadaan partai Islam sering kali dianggap tidak relevan dengan aspirasi masyarakat urban dan kelas menengah yang lebih rasional dan kritis terhadap isu-isu sosial-ekonomi. Segmentasi basis pemilih pun menjadi terbatas pada kelompok konservatif dan agamis yang sensitif terhadap isu moralitas, tetapi belum tentu loyal secara politik.

Islam sebagai agama memiliki warisan kuat dalam memperjuangkan keadilan sosial, kesetaraan ekonomi, dan pembelaan terhadap kelompok marjinal. Namun sangat sedikit partai Islam yang konsisten membawa misi ini ke dalam ruang kebijakan publik. Sebagian besar energi justru dihabiskan untuk kampanye normatif—penegakan moral individu alih-alih keadilan struktural.

Kita jarang mendengar partai Islam memimpin wacana tentang pajak progresif, distribusi tanah, reforma agraria, jaminan sosial universal, atau digitalisasi pendidikan pesantren. Padahal, umat Islam Indonesia sebagian besar berada di kelas bawah dan menengah—mereka butuh advokasi yang lebih konkret, bukan sekadar simbol-simbol syariat.

Reaksi, Bukan Inisiatif

Kerap kali, partai Islam lebih bersifat reaktif ketimbang proaktif dalam isu-isu nasional. Misalnya, ketika muncul wacana RUU kontroversial atau kebijakan pemerintah yang dianggap sekular, barulah mereka bereaksi keras. Tapi dalam banyak kasus, inisiatif kebijakan progresif jarang datang dari partai Islam sendiri. Hal ini menandakan lemahnya riset kebijakan dan absennya peran intelektual organik dalam tubuh partai.

Bandingkan dengan partai-partai nasionalis-sekuler yang mulai mengadopsi pendekatan berbasis data, survei, dan analisis akademik dalam merancang platform mereka. Tanpa dukungan basis intelektual dan think tank yang kuat, partai Islam akan terus tertinggal dalam menawarkan gagasan substantif dan visioner.

Kelemahan lain dari partai Islam adalah personalisasi politik yang kuat. Elektabilitas sering kali sangat tergantung pada tokoh karismatik, baik dari kalangan ulama maupun ustadz kondang yang sedang naik daun di media sosial. Ketika tokoh itu redup atau berpindah haluan, dukungan pun menguap.

Kultur kaderisasi di banyak partai Islam belum berjalan sistematis. Politik internal masih sarat konflik elit, bukan pembinaan generasi baru yang mampu membawa visi Islam yang kontekstual dan inklusif. Inilah yang membuat partai Islam sering dianggap sebagai “partai zaman dulu” oleh kalangan muda Muslim urban yang lebih kritis dan terbuka.

Politik Identitas yang Melelahkan

Pemilu demi pemilu, partai Islam cenderung menggunakan narasi “pemimpin Muslim harus dipilih oleh umat Islam” sebagai senjata kampanye. Padahal, masyarakat Indonesia sudah semakin sadar bahwa kualitas pemimpin tidak hanya diukur dari identitas agamanya, tetapi dari rekam jejak, visi kebangsaan, dan keberpihakannya pada rakyat kecil.

Alih-alih membangun koalisi luas lintas kelas dan agama untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial dalam Islam, partai Islam justru mempersempit ruang gerak mereka sendiri. Politik identitas yang eksklusif bukan hanya tidak efektif, tapi juga berbahaya karena memperkuat sekat-sekat sosial yang bisa mengancam kohesi bangsa.

Masih ada harapan bagi partai Islam di Indonesia untuk bangkit dan menjadi kekuatan politik yang relevan dan progresif. Tapi hal ini hanya bisa terjadi jika mereka mau bertransformasi dari politik simbol ke politik substansi. Islam harus dijadikan inspirasi etis dalam membangun tata kelola negara yang adil, bersih, dan berpihak pada rakyat miskin—bukan sekadar alat retoris untuk menarik suara berbasis identitas.

Untuk itu, partai Islam perlu melakukan beberapa hal mendasar seperti merumuskan platform ekonomi, sosial, dan lingkungan yang komprehensif dan kontekstual. Mengembangkan lembaga riset kebijakan yang serius dan berbasis data. Kemudian Membangun kaderisasi yang meritokratis dan inklusif. Serta Mendorong dialog lintas agama dan ideologi secara aktif, bukan sekadar simbolik.

Sudah waktunya partai Islam meninggalkan strategi lama yang hanya mengandalkan jargon keagamaan dan politik identitas. Umat Islam Indonesia semakin cerdas dan kompleks. Mereka ingin solusi nyata atas persoalan hidup mereka: pendidikan, kesehatan, harga pangan, pekerjaan, dan keadilan hukum.

Jika partai Islam ingin tetap relevan di tengah tantangan zaman, maka mereka harus kembali kepada esensi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam—yakni membela yang lemah, menegakkan keadilan, dan menghadirkan kesejahteraan. Bukan hanya bagi umat Islam, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia.

@Ahmad Djunaedi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *