ZIONISME SEDANG MENELANJANGI DIRINYA SENDIRI
Mutawakkil Abu Ramadhan II
Refeleksi kritis ini sebenarnya sudah mulai saya cicil sejak saya menyelesaikan mabit di Mina tahun 1446 Hijriyah ini. Di selasela kesibukan membimbing jemaah haji, saya menyempatkan diri mengutip ngutip kembali karya besar Dr. Abdul Wahab Al Masiiri, ensiklopedia Zionisme yang legendaris itu tebalnya 8 jilid, namun dalam tiap lembarnya menyimpan penjelasan yang gamblang dan menyayat tentang apa sebenarnya ideologi bernama Zionisme itu. Terimakasih kepada teknologi perpustakaan digital yang sudah memudahkan pembaca dalam mengeksplorasi Khazanah keilmuan dunia.
Saya menulis ini bukan karena ingin tampil lantang bagai pahlawan kesiangan, melainkan karena nurani saya terusik. Karena ketika saya berada di Tanah Suci yang merupakan tempat suci yang melambangkan kedamaian, keadilan dan penghormatan penuh terhadap manusia, justru dari luar sana, datang kabar tentang Zionis Israel yang dengan pongah menyerang kantor konsulat Iran dan lalu menyerang wilayah Iran persis pada saat perjalanan pulang kami ke tanah air . Sebuah aksi militer sepihak, tanpa pengadilan, tanpa mekanisme internasional, tanpa rasa hormat terhadap hukum dan kedaulatan bangsa lain.
Inilah wajah asli Zionisme yang dibedah secara tuntas oleh Dr. Al Masiiri: bukan sekadar penjajahan atas tanah Palestina, tetapi sebuah cara berpikir dan berperilaku yang merasa dirinya di atas segala aturan. Satu bangsa yang membungkus ambisi supremasi etnoreligius dengan jubah penderitaan sejarah, dan merasa berhak menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalannya.
Jika dunia ini masih punya sisa rasa adil, kita patut bertanya: bagaimana mungkin satu entitas negara bisa melakukan agresi terhadap negara negara lain seenaknya lalu ketika pihak yang diserang membalas, dunia barat langsung menyebutnya sebagai teroris dan agresor?
Dan ketika perhatian global tersedot ke arah perang udara dua negara besar itu, Gaza masih membara dalam diam. Dalam sembilan bulan terakhir hingga saat ini, lebih dari 15.000 anak anak Gaza terbunuh oleh bom dan peluru, terkubur di bawah reruntuhan rumah rumah yang mereka tinggali bersama keluarga mereka (data OCHA). Tubuh tubuh kecil mereka bukan lagi hanya korban, tetapi dijadikan sebagai alat tawar, dan nyawa mereka dihitung sebagai biaya politik. Di titik inilah saya terdiam lama bertanya dalam diri: jenis ideologi iblis apa yang bisa menjadikan anak anak manusia sebagai angka statistik dalam spreadsheet kekuasaan?
Jawabannya, seperti yang disampaikan dengan gamblang oleh Dr. Abdul Wahab Al Masiiri : Zionisme. Sebuah ideologi yang bukan hanya menjajah tanah, tapi juga menjajah akal sehat dan mengotori hati manusia modern. Dalam delapan jilid ensiklopedianya, Dr. Al Masiiri membongkar Zionisme dari akar, bukan dengan emosi, tapi dengan ilmu dan ketelitian seorang pemikir besar. Beliau mengawali tulisan di ensiklopedia 8 jilid itu dengan :
الصهيونية ليست امتدادًا لليهودية، بل هي حركة سياسية علمانية وظيفية، أنشأها الاستعمار الغربي لخدمة مصالحه في المنطقة
“Zionisme bukan kelanjutan Yudaisme, melainkan gerakan politik sekuler fungsional yang diciptakan kolonialisme Barat untuk melayani kepentingannya di kawasan.”
Seperti Imam Al Ghazali yang membongkar filsafat Yunani dalam Tahafut Al Falasifah, Dr. Al Masiiri membongkar Zionisme sebagai sesuatu yang berbeda secara total dari agama Yahudi, dia memisahkan secara tegas dalam tiga entitas :
a. Yahudi sebagai komunitas beragama,
b. Yudaisme sebagai tradisi spiritual.
c. Zionisme sebagai ideologi kolonial dan ekspansionis.
Ini bukan sekadar perbedaan analitik saja,hal ini sudah menyangkut perbedaan eksistensial. Maka mengkritik Zionisme bukan otomatis membenci Yahudi. Justru inilah yang membunuh propaganda murahan yang selama ini digunakan Zionis: bahwa semua kritik atas Israel pasti merupakan “tindakan antisemitisme”.
Lebih dari itu, Dr. Al Masiiri dengan berani membongkar kutipan kutipan mengerikan dari tokoh tokoh utama Zionisme. Rabbi Abraham Coock, misalnya, menyatakan:
الحاخام أبراهام كوك، أبو الصهيونية الدينية، علّم أن ‘نفوس غير اليهود أصلها من الأرواح النجسة (سيترا آشرا)، أما نفوس اليهود فهي جزء من الله
“Jiwa non Yahudi berasal dari roh najis (sitra achra), sementara jiwa Yahudi adalah bagian dari Tuhan.”
Teks Talmud yang dimanipulasi digunakan untuk menjustifikasi kekerasan :
غير اليهودي حيوان بشري (بهيمة)” (بابا متصيا ١١٤ب)
“NonYahudi adalah binatang manusia (bahimah).”
Kutipan ini digunakan secara liar untuk menjustifikasi dehumanisasi bangsa Palestina.
Theodor Herzl pun menyebut nonYahudi sebagai “sampah” yang harus disingkirkan. Perdana Menteri Zionis Israel pertama David Ben Gurion, dalam catatan hariannya tahun 1937, berkata:
يجب أن نطرد العرب ونأخذ أماكنهم… لا مجال للتنازل
“Kita harus mengusir orang Arab dan mengambil tempat mereka… tidak ada ruang untuk kompromi.”
Zionisme bukan sekadar ide an sich, ide etno-relijio-rasisme ini dijelmakan ke dalam suatu entitas sistem hukum. Dr. Al Masiiri mengkatalogkan undang undang rasis Israel seperti :
a. Hukum tanah 1960 yang hanya memperbolehkan Yahudi memiliki 93% wilayah Israel.
b. Hukum kewarganegaraan 1952 yang memberi hak eksklusif hanya kepada orang Yahudi.
c. Dan hukum negara bangsa Yahudi 2018 yang menegaskan bahwa tanah Palestina hanya untuk etnis Yahudi.
Dan Gaza? Gaza adalah laboratorium tempat semua teori itu diuji. Doktrin Dahiya, yaitu menghancurkan infrastruktur sipil untuk menciptakan penderitaan massal, diterapkan sejak 2006.
Dr. Al Masiiri menyebutnya sebagai bentuk “moral transfer”: Yaitu konsep berbasis cara kekerasan untuk membuat orang Palestina pergi dengan “sukarela”. Dengan memotong air, listrik, makanan, dan obatobatan, Zionisme menciptakan pemusnahan tanpa harus mengangkat senjata di hadapan dunia.
Mereka menyebut rakyat Gaza sebagai “demon demografis” yaitu hantu statistik yang harus dikurangi jumlahnya.
Maka genosida hari ini bukan kebetulan, tapi jalan yang memang sudah digariskan sejak awal oleh ideologi ini.
Dr. Al Masiiri menulis dalam epilog Jilid 8:
“إذا سكت العالم عن رؤية الصهيونية تذبح فلسطين، فستنهض أيديولوجيات مماثلة: قوميات دينيةعرقية حصرية، عطشى للدماء، تدعمها الإمبريالية، وتتنكر بقناع الديمقراطية. غزة اختبارٌ للحضارة: فهل سيسمح الإنسان لانتصار نظام الفصل العنصري؟”
“Jika dunia diam melihat Zionisme membantai Palestina, ideologi serupa akan bangkit : Nasionalisme etnoreligius eksklusif yang haus darah, didukung imperialis terkuat dimuka bumi dengan topeng demokrasi. Gaza adalah ujian peradaban: Akankah manusia membiarkan apartheid menang?”
Itulah peringatan dari seorang intelektual, filsuf sekaligus pemikir. Bukan hanya tentang Israel, tapi tentang masa depan dunia. Jika kita membiarkan Zionisme menang, kita sedang membuka jalan bagi kemunculan ideologi Zionisme yang sama di tempat lain: di Kashmir, di Myanmar, di barat yang mulai bertumbuhan ide rasisme, bahkan mungkin di negeri kita sendiri yang sempat melewati era nasionalisme semi ekstrim selama 1 dekade.
Maka Dr. Al Masiiri menawarkan solusi :
a. Hapus apartheid Israel.
b. Akui hak pulang 7 juta pengungsi.
c. Dan bangun satu negara dengan kesetaraan penuh bagi semua, tanpa kecuali.
Rasulullah SAW bersabda:
“الناس من آدم، وآدم من تراب. لا فضل لعربي على أعجمي إلا بالتقوى” (رواه أحمد)
“Manusia berasal dari Adam, dan Adam dari tanah. Tak ada keutamaan Arab atas nonArab kecuali karena takwa.”
Dan Allah berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
“Jangan engkau kira bahwa Allah lalai terhadap apa yang dilakukan oleh orangorang zalim.” (QS. Ibrahim: 42)
Gaza adalah garis depan peradaban. Di sana, bukan hanya tanah yang direbut, tapi makna kemanusiaan yang diluluhlantakkan. Di sana, Zionisme tak lagi bersembunyi di balik narasi Sejarah, karena dia telah menelanjangi dirinya sendiri. Maka kita tidak punya alasan untuk tetap diam.
Karena kelak kita akan ditanya: Apa yang kau lakukan saat kemanusiaan dibantai di hadapanmu?