HAJI, HIJRAH DAN KRISIS ARAH UMAT
Mutawakkil Abu Ramadhan II
Tahun baru Hijriyah kembali menyapa kita. Muharram datang, membawa harapan baru dan pertanyaan lama: Kemana arah umat ini hendak melangkah? Muharram datang tepat setelah ibadah haji yang merupakan sebuah perjalanan ruhani yang tak hanya meninggalkan kesan batin, tapi juga menyalakan kembali kesadaran tentang arah hidup dan misi peradaban. Haji bukan sekadar ritual; ia adalah rukun pamungkas Islam, dan secara etimologis, “haji” bermakna alqasdu yaitu tujuan, arah, niat yang bulat. Ia mengajari kita bahwa hidup seorang Muslim harus bermuara kepada Allah, dan bergerak dengan panduan jelas, bukan hanyut oleh dunia.
Maka datangnya Muharram adalah panggilan untuk melanjutkan semangat haji: Hijrah. Jika haji menguatkan tujuan hidup sejati, maka hijrah adalah lompatan aktual dalam membenahi arah hidup. Tapi yang membuat hati ini resah: Apakah umat benar benar tahu ke mana harus hijrah? Ataukah kita hanya bergerak secara fisik, tapi tanpa ruh, tanpa arah, tanpa bashirah?
Saya teringat pemikiran tajam Syekh Dr Yusuf Al Qaraḍawi dalam bukunya Fiqh Al Awlawiyyaat (Fiqih Prioritas) beliau menulis :
من أخطر ما يُصاب به العمل الإسلامي أن ينقلب ميزان الأولويات، فيُقدّم ما حقّه التأخير، ويُؤخّر ما حقّه التقديم.
“Salah satu bahaya terbesar dalam gerakan Islam adalah ketika timbangan prioritas menjadi terbalik, dimana yang seharusnya ditunda justru didahulukan, dan yang seharusnya diutamakan justru diabaikan.”
Apa yang dikatakan Qaradhawi itu terasa sangat nyata hari ini. Umat kehilangan skala prioritas. Musuh sejati tak dikenal, kawan mudah sekali dicurigai. Lihatlah Iran negara yang berani terang terangan melawan Zionisme dan mendukung perjuangan Palestina secara nyata, alih alih dijadikan inspirasi, alih alih didukung dan dijadikan solidaritas kemerdekaan semesta malah diserang dengan isu sektarian.
Lihat pula Presiden baru Suriah, As Syara’, yang berhasil memimpin dan mengelola perjuangan panjang nan berat menghancurkan struktur rezim brutal rezim Assad, namun tetap saja dicap antek asing hanya karena bersikap diam didalam perang Iran dan Zionis Israel. Fenomena ini bukan sekadar kebingungan politik, ini adalah penyakit peradaban : Umat tak tahu siapa yang harus dijadikan kawan dan siapa yang patut dilawan, kedangkalan pemikiran sudah begitu parah.
Semua ini tak lepas dari hilangnya bashirah dalam sebagian tubuh umat ini. Kita menjadi umat yang mudah curiga, mudah tersulut, mudah mengamuk, gampang merendahkan dan menjatuhkan sesama Muslim hanya karena beda karakter dan pendekatan. Karakter sesama saudara seiman mudah dihancurkan, aib diumbar, kehormatan dicabut, semua atas nama membela sesuatu yang dia pikir itu kebenaran, padahal sering kali tragedi adab ini terjadi lantaran kegagalan mengelola ego dan kegagalan membangun struktur ilmu yang mendasar sekalipun. Disini seorang cendekiawan muslim terkemuka Dr. Muhammad Mukhtar Syangqithi mengingatkan dalam sebuah kuliah daringnya tentang Palestina :
مَهمَةُ الفِقهِ السِّيَاسِيِّ أَنْ يُمَيِّزَ العَدُوَّ الحَقِيقِيَّ عَنِ الخِصمِ العَارِضِ، فَمَنْ لَمْ يَعرِفْ فَقَدْ ضَيَّعَ الجِهَادَ
“Tugas fiqh siyasi (politik) adalah membedakan musuh hakiki dari lawan sementara; siapa yang gagal membedakan, ia telah menyia nyiakan jihad.”
Dan di sinilah akar masalah itu: kita sedang hidup dalam zaman yang kehilangan aktualisasi tasawuf. Ilmu yang dulu menjadi cahaya hati umat, ilmu yang dibangun secara susah payah oleh para ulama salafussolih, ilmu yang berhasil membangkitkan umat Islam di era Sholahuddin Al Ayyubi dalam merebut Kembali masjid al aqsha dari tangan pasukan salib kini meluas dikalangan muslim perkotaan dimana tasawuf ini secara enteng dan dangkal dianggap bid’ah.
Kita dijauhkan dari warisan Imam Al Ghazali, Abu Hasan Asy’ari ,Imam Syadzili, dan Imam Junaid. Kita dilupakan oleh inspirsasi politikus intelektual di masa itu seperti Sultan Arselan, perdana Menteri Nizamul Mulk yang bersama para ulama itu membangun perdaban tasawuf untuk bangkit membentuk perlawanan semesta terhadap koalisi raksasa pasukan Salib dari Eropa.
Mereka semua mengajarkan bahwa jihad terbesar adalah jihad internal mengendalikan partikel karakter kita yaitu : Melawan diri sendiri. Tanpa tasawuf, hati umat jadi keras karena tidak ada dzauq ruhani, umat jadi reaktif dan dangkal. Tanpa kehalusan batin, umat mudah saling menuduh dan mengafirkan.
Kekerasan hati para penguasa kota di era penjajahan pasukan salib, membuat mereka memasang salib diatas kubah kubah masjid, karena mengira kalau musuh itu bisa luluh hatinya secara instan. Mereka kesulitan mendengarkan nasihat saudaranya yaitu rakyatnya sendiri terutama dari para ulama, watak reaktif dan kedangkalan pemikiran itu memicu kembali para ulama untuk menghidupkan ilmu tasawuf.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam alGhazali:
من لم يَعرِف قلبه، فليس له قلب.
“Barang siapa tidak mengenal hatinya, maka sesungguhnya ia tidak memiliki hati.”
Dan kita hari ini hidup dalam masyarakat yang umumnya tidak mengenal hatinya sendiri.
Prof. Tareq Ramadhan dalam bukunya Radical Reform menulis :
الانفعال العاطفي الذي يَعْمَى عن بِنْيَةِ الظُلْمِ العَالَمِيَّة
“Emosi reaktif yang membutakan (umat) terhadap struktur kezaliman global”
Bagaimana menghadapi zaman yang diselimuti oleh kegelapan kompas ini? Hijrah mesti bernapas dalam empat gerak sederhana :
- Pertama, hijrah ilmu: tinggalkan malas baca, hoaks, postingan pendek dan dangkal, buka lagi khazanah turats dan kontemporer lewat para ulama yang mumpuni.
- Kedua, hijrah ruh : redupkan haus gengsi, pupuk qona’ah قناعة dan tawakkal توكل kita perlu mengingat sabda Rasulullah SAW
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukan banyaknya harta, tapi kayanya jiwa.” - Ketiga, hijrah sosial: keluar dari cangkang ego, sambung tangan tangan persaudaraan lintas ras dan bangsa, sebagaimana firman Allah :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang orang yang beriman itu adalah saudara” - Keempat, hijrah peradaban: jadikan masjid, sekolah, pasar, dan media sebagai ruang menebar ilmu dan rahmat, bukan untuk menebar kedangkalan. Syaikh علي الجفري menegur dalam satu forum :
مَنْ يَجْعَلُ الخِلَافَ ذَرِيعَةً لِلهِدَامِ، هُوَ يَعْمَلُ شَعَرَ أَمْ لَمْ يَشْعُرْ لِمَصْلَحَةِ الْعَدُوِّ
“Siapa menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk saling merobohkan, sadar atau tidak, ia sedang bekerja untuk kepentingan musuh.”
Dzulhijjah telah mengukuhkan tujuan (الحَجُّ القَصْدُ). Muharram membuka jalan hijrah menuju aktualisasi tujuan itu. Bila haji menyatukan jutaan jiwa dalam satu ihram, hijrah menuntut kita membalut diri dengan ihram spiritual setiap hari: menahan ego, menatap visi, dan berjalan tegap melampaui sekat golongan sempit dan propaganda asing. Allah SWT berjanji :
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللَّهُ رِزْقًا حَسَنًا
Janji itu masih terbuka, menunggu orang orang berhijrah bukan hanya dengan kaki, tetapi dengan skala prioritas yang jelas, ilmu yang kokoh dan hati yang lembut.
Maka, hijrah di tahun ini bukan sekadar berpindah dari maksiat ke taat, tapi dari migrasi massal dari kekerasan hati menuju kelembutan. Dari semangat saling menjatuhkan dan menghancurkan menjadi semangat saling support dan memperbaiki. Dari semangat menyerang menuju semangat saling melindungi.
Muharram datang sebagai momen memperbaiki arah. Setelah haji mengajarkan tujuan hidup, hijrah menuntut kita menempuh jalan itu dengan tekad dan jiwa yang dibersihkan. Inilah waktunya membalikkan arah sejarah, dan kembali menjadikan cinta, bashirah, dan kasih sayang sebagai dasar perjuangan umat.
Semoga tahun baru Hijriyah ini menjadi awal hijrah kolektif kita menuju umat yang lebih jernih akal, lebih lembut hati, dan lebih tajam membaca siapa sebenarnya musuh dan siapa sebenarnya saudara.
Wallahu a’lam.